Setelah kegagalan perundingan dagang Indonesia-AS pada April 2025, Presiden Prabowo Subianto mengarahkan agar pembelian sistem senjata dari Amerika Serikat menjadi prioritas utama dalam pembangunan kekuatan pertahanan 2025–2029. Langkah ini dinilai strategis untuk mengurangi surplus perdagangan Indonesia dengan AS sekaligus sebagai bagian dari diplomasi dagang guna meredam tarif resiprokal yang akan berlaku mulai Juli 2025. Namun, realisasi kebijakan ini masih terganjal proses internal seperti belum bersidangnya Dewan Pertahanan Nasional dan belum masuknya program tersebut dalam dokumen DRPLN-JM dan DKPDN-JM.
Dengan estimasi alokasi Pinjaman Luar Negeri (PLN) sekitar US$20 miliar, pembelian besar seperti F-15EX dari AS berpotensi menyerap lebih dari separuh anggaran, sehingga belanja ke negara lain seperti Turki harus dikurangi. Selain aspek ekonomi, keputusan ini juga dipertimbangkan dari sisi geopolitik dan strategi pertahanan kawasan Indo-Pasifik, serta peluang meningkatkan industri pertahanan nasional melalui skema offset dan kandungan lokal.