Revisi terhadap Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2020 mengenai Tata Tertib DPR telah menimbulkan kontroversi karena memberikan kewenangan baru bagi parlemen untuk melakukan evaluasi berkala terhadap pejabat negara yang sebelumnya telah melewati uji kelayakan. Ketentuan ini menimbulkan kekhawatiran akan adanya potensi penyalahgunaan kekuasaan, terutama jika evaluasi tersebut digunakan sebagai instrumen politik untuk menekan pejabat yang kebijakannya tidak selaras dengan kepentingan politik tertentu. Secara prinsip, revisi ini bertentangan dengan konsep pemisahan kekuasaan serta mekanisme checks and balances dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Lebih jauh, perubahan ini juga tidak sejalan dengan hierarki peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, yang menegaskan bahwa peraturan dengan derajat lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, apalagi dengan konstitusi sebagai hukum dasar negara.
Secara substansial, ketentuan baru yang disisipkan dalam Pasal 228A Tata Tertib DPR memberikan otoritas kepada parlemen untuk mengevaluasi dan memberhentikan pejabat negara, termasuk pimpinan lembaga independen seperti KPU, Bawaslu, KPK, serta hakim MA dan MK. Padahal, mekanisme pemberhentian pejabat negara telah diatur secara spesifik dalam undang-undang yang mengatur masing-masing lembaga tersebut. Dengan mengesampingkan prosedur yang telah ditetapkan dalam regulasi yang lebih tinggi, DPR telah melampaui batas kewenangannya dan berpotensi mengganggu stabilitas pemerintahan. Jika kewenangan ini diterapkan, pejabat negara yang seharusnya bekerja secara profesional dan independen justru akan berada dalam tekanan politik yang dapat menghambat pelaksanaan kebijakan publik. Selain itu, aturan ini juga berisiko menurunkan independensi kekuasaan kehakiman, yang seharusnya bebas dari campur tangan politik sebagaimana dijamin dalam konstitusi.
Daripada memberikan kewenangan untuk mencopot pejabat yang telah dipilihnya, DPR seharusnya lebih menekankan pada perbaikan proses uji kelayakan agar lebih transparan dan objektif. Masih terdapat banyak aspek dalam mekanisme pemilihan pejabat negara yang perlu dievaluasi, seperti subjektivitas dalam penilaian, potensi transaksi politik dalam pemilihan kandidat, serta minimnya partisipasi publik yang menyebabkan proses tersebut terkesan elitis. Dengan memperbaiki mekanisme seleksi, DPR dapat memastikan bahwa pejabat yang terpilih benar-benar memiliki integritas, kompetensi, dan moralitas yang sesuai dengan tanggung jawabnya. Sebagai lembaga legislatif, DPR harus tetap menghormati batas kewenangannya dan tidak mengambil peran yang berada di luar cakupan tugasnya demi menjaga keseimbangan dalam sistem ketatanegaraan yang demokratis.