Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute Prianto Budi Saptono, mengkritisi kompleksitas pengaturan yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 131/2024. Menurut Prianto, meskipun kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara, implementasinya dapat membingungkan wajib pajak. “Dasar Pengenaan Pajak (DPP) dalam beleid ini diatur cukup beragam, mulai dari harga jual, penggantian, nilai impor, hingga nilai lain. Namun, pengelompokan ini menimbulkan interpretasi yang berpotensi berbeda dalam pelaksanaannya,” ujarnya.
Ia menyoroti terdapat dua skema penghitungan PPN sesuai PMK tersebut. Pertama, PPN sebesar 12 persen diterapkan penuh untuk barang mewah, seperti kendaraan bermotor dan properti mewah, yang juga dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). Kedua, untuk barang atau jasa umum yang tidak dikenakan PPnBM, PPN dihitung dengan tarif efektif sekitar 11 persen dari nilai transaksi. Prianto menilai pendekatan ini, meskipun sesuai dengan revisi UU HPP, dapat menciptakan kebingungan.
Prianto juga mengingatkan pemerintah perlu berhati-hati dalam implementasi kebijakan ini agar tidak menambah beban administrasi bagi pengusaha. “Dengan kompleksitas penghitungan DPP yang berbeda-beda, pelaku usaha berisiko menghadapi kesulitan dalam kepatuhan administrasi, yang pada akhirnya dapat menghambat kepatuhan pajak secara keseluruhan,” tuturnya. Meski demikian, ia mendukung langkah pemerintah untuk mempertahankan tarif PPN barang umum pada tingkat efektif yang lebih rendah, yaitu 11 persen. Menurutnya sudah menjadi langkah baik untuk melindungi masyarakat umum dari dampak langsung kenaikan tarif.