Masyarakat adat di Merauke yang tergabung dalam Solidaritas Merauke secara tegas menolak Proyek Strategis Nasional (PSN) yang mencakup cetak sawah baru dan pengembangan perkebunan tebu di wilayah mereka. Penolakan ini disampaikan dalam audiensi dengan Komite II Dewan Pemerintah Daerah Papua Selatan, yang dihadiri oleh berbagai pihak termasuk kementerian terkait dan perusahaan pelaksana proyek. Forum Masyarakat Adat Malind menyebutkan proyek ini berdampak pada distrik-distrik seperti Tabonji, Kimaam, Ilwayab, Tubang, Ngguti, dan Eligobel, tanpa melibatkan persetujuan masyarakat adat sesuai prinsip Free Prior Informed Consent (FPIC).
Masyarakat adat menyoroti lima poin keberatan utama terhadap PSN ini. Mereka menilai kebijakan tersebut diluncurkan tanpa kajian sosial dan lingkungan yang memadai, serta mencatat adanya praktik kolusi dan monopoli dalam pemberian izin usaha. Selain itu, penggusuran hutan, savana, rawa, dan lahan gambut untuk proyek ini dinilai merusak ekosistem setempat, sementara kehadiran militer dalam pengamanan proyek dianggap menciptakan tekanan psikis dan rasa tidak aman bagi warga. Solidaritas Merauke mendesak pemerintah untuk menghentikan proyek ini dan merevisi pendekatannya agar lebih menghormati hak-hak masyarakat adat.
Proyek di Merauke merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk mengembangkan kawasan sentra produksi pangan guna mencapai swasembada gula dan bioetanol dalam waktu lima tahun. Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman menyatakan program ini diharapkan dapat meningkatkan indeks pertanaman hingga IP 300 dan produktivitas tanaman pangan. Namun, penolakan dari masyarakat adat menunjukkan adanya ketimpangan dalam pelaksanaan proyek, terutama dalam aspek partisipasi dan perlindungan lingkungan hidup.