Menteri Ketenagakerjaan Yassierli mengungkap bahwa kebangkrutan PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) terutama disebabkan oleh kelalaian manajemen dalam menangani risiko utang, bukan karena persaingan dari produk impor. Pada rapat kerja bersama Komisi IX DPR RI, Yassierli menyebut manajemen Sritex meremehkan besarnya utang hingga akhirnya terlilit beban keuangan berat, dengan total liabilitas mencapai US$1,6 miliar (Rp25,06 triliun) hingga September 2022. Ia menyoroti peran satu kreditur yang memiliki piutang Rp100 miliar dan mengajukan PKPU yang berujung pada kepailitan perusahaan.
Yassierli menyampaikan bahwa Presiden Prabowo Subianto telah memanggil beberapa menteri, termasuk Menteri Koordinator Bidang Perekonomian dan Menteri Keuangan, untuk mencari solusi atas kasus Sritex. Pemerintah berencana membantu mempercepat proses mediasi antara kurator dan manajemen serta memfasilitasi kebijakan yang dapat meringankan ekspor-impor bagi industri tekstil. Yassierli menekankan bahwa dukungan ini bukan bantuan langsung bagi perusahaan, melainkan bentuk regulasi yang mungkin dapat membantu sektor industri dalam menghadapi tantangan serupa.
Dalam rapat kerja, anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi PKS, Achmad Ru’yat, menyebut kebangkrutan Sritex sebagai peringatan bagi pemerintah untuk mencegah hal serupa di sektor lain. Ia meminta pemerintah mengambil langkah konkret untuk memastikan bahwa dampak pailitnya Sritex tidak menyebabkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang meluas. Putusan Pengadilan Niaga Semarang pada perkara nomor 2/Pdt.Sus-Homologasi/2024/PN Niaga Smg menetapkan Sritex dan sejumlah anak perusahaannya pailit karena gagal memenuhi kewajiban pembayaran pada PT Indo Bharat Rayon, yang menjadi kreditur pemohon.