Rwanda telah membatasi ukuran pemakaman bagi korban virus Marburg untuk mengekang penyebaran wabah tersebut. Delapan orang telah meninggal selama wabah pertama Marburg di Rwanda, yang dikonfirmasi pada Jumat (27/9/2024) oleh Kementerian Kesehatan. Melansir dari BBC News, pedoman baru Rwanda membatasi jumlah pelayat di pemakaman korban Marburg menjadi 50 orang. Meskipun begitu, kegiatan normal masih diizinkan, namun masyarakat diimbau menghindari kontak dengan orang yang menunjukkan gejala. Tingkat fatalitas virus Marburg hingga 88 persen dan berasal dari keluarga virus yang sama dengan Ebola. Virus ini ditularkan dari kelelawar buah ke manusia, disebarkan melalui kontak dengan cairan tubuh individu yang terinfeksi.
Gejala Marburg meliputi demam, sakit kepala, muntah, dan diare, dan penyakit ini bisa menyebabkan kematian melalui kehilangan darah yang ekstrem. Pasien di rumah sakit dilarang menerima pengunjung selama 14 hari dan hanya diperbolehkan satu pengasuh. Di negara berkembang, anggota keluarga seringkali harus memberikan perawatan dasar bagi pasien, yang biasanya dilakukan perawat di negara maju. Sebagian besar korban adalah petugas kesehatan di unit perawatan intensif rumah sakit. Dr. Nahid Bhadelia dari Universitas Boston mengatakan bahwa mengendalikan wabah di Kigali bisa lebih sulit dibanding di daerah pedesaan.
Namun, dia optimis karena Rwanda memiliki infrastruktur kesehatan yang lebih baik dibandingkan negara-negara lain. Rwanda sedang meningkatkan pelacakan kontak, pengawasan, dan pengujian untuk menghentikan penyebaran virus. Sekitar 300 orang yang melakukan kontak dengan korban Marburg sedang dilacak oleh pihak berwenang. Masyarakat diimbau untuk menjaga kebersihan, termasuk mencuci tangan secara rutin. Ini adalah pertama kalinya Marburg dilaporkan di Rwanda. Negara tetangga Tanzania melaporkan wabah pada 2023. Sementara itu, Uganda mengalami tiga kematian akibat Marburg pada 2017.