Pengamat Politik Ray Rangkuti menanggapi soal pencabutan aturan batas usia calon kepala daerah (cakada) oleh Mahkamah Agung (MA). Ray berpendapat putusan tersebut dinilai tidak objektif dan tidak rasional. Ray menilai putusan MA Nomor 23 P/HUM/2024 yang diputuskan oleh Majelis Hakim pada Rabu, (29/5/2024) itu menimbulkan kontroversi di mata publik. Dalam putusan MA tersebut, MA membatalkan pencalonan yang dihitung sejak pasangan calon ditetapkan menjadi sejak pelantikan pasangan calon dilaksanakan dengan usia minimal 30 tahun.
Pandangannya tersebut, menurut penjelasan Ray menitikberatkan pada empat alasan. Pertama, penetapan penghitungan batas usia sejak pelantikan kepala daerah bukan kewenangan KPU. Jadwal pelantikan kepala daerah sepenuhnya merupakan wewenang Presiden. Kedua, jadwal pelatikan juga tidak dapat dipastikan kapan waktunya. Itu sangat tergantung pada jadwal Presiden sebagai kepala negara dan pemerintah. Lebih rumit lagi, lanjutnya, karena pelantikan kepala daerah dimaksud tidak akan dilaksanakan oleh pemerintah yang membuat jadwal, tetapi oleh presiden yang sesudahnya. Hal itu bisa saja presiden yang sesudahnya mengubah jadwal yang ditetapkan oleh pemerintah yang sebelumnya.
Ketiga, putusan MA itu justru memberikan ketidakpastian hukum apabila pemenang pilkada yang berusia 29 tahun dilantik sebelum ulang tahun ke-30. Alasan keempat, secara umum, seluruh jabatan yang menyaratkan adanya pembatasan minimal usia, hampir seluruhnya dihitung bukan sejak dilantik tetapi mendaftar. Baik calon penyelenggara pemilu, Komisioner KPK, KY, atau Hakim MK, dan lainnya, bahkan calon hakim agung MA.