Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Keempat atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK) atau RUU MK di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI menuai sorotan dari berbagai kalangan, termasuk dari kalangan MK sendiri. Lantas, apa reaksi dari kalangan internal MK terhadap revisi UU MK di DPR? Berikut pernyataan kalangan internal MK yang dikutip dari Tempo.
Ketua Majelis Kehormatan atau Ketua MKMK I Dewa Gede Palguna mengaku tak habis pikir karena revisi UU MK itu dibahas diam-diam saat masa reses. Mantan Hakim MK itu ragu apakah ahli yang menyampaikan pendapat mengenai revisi UU MK masih didengar oleh DPR. Palguna pun menyindir DPR yang sering tak transparan dalam membuat Undang-undang. Dia mengatakan, nantinya jika ada pihak yang keberatan, DPR biasanya meminta untuk menyelesaikannya di MK. Palguna menyebut, mekanisme itu tak lagi bisa diandalkan. Sebab, katanya, saat ini MK dilemahkan melalui revisi UU MK. Palguna menyoroti revisi UU MK Pasal 23 Ayat 1 yang membatasi masa jabatan hakim konstitusi selama 10 tahun. Dia menilai, revisi ini sudah jelas bisa mempengaruhi independensi Hakim MK. Bahkan, kata dia, pengaruh itu sudah bisa dipahami oleh masyarakat awam tanpa perlu menjadi sarjana hukum terlebih dahulu. Palguna mengatakan, perubahan pada UU MK, harusnya menjadikan MK sebagai lembaga peradilan yang benar-benar merdeka. Menurut dia, gangguan terbesar MK adalah gangguan politik. Karena itu, ciri independensi hakim memang tampak dari seberapa merdeka MK dari kekuatan politik.
Hakim konstitusi Enny Nurbaningsih enggan berkomentar mengenai perubahan keempat revisi UU MK yang baru saja disepakati oleh pemerintah dan DPR. Hal senada diungkapkan oleh Juru Bicara (Jubir) MK Fajar Laksono saat ditemui di Gedung MK, Jakarta Pusat pada Rabu malam, 15 Mei 2024. Fajar enggan menanggapi soal revisi UU MK. Sebelumnya, pemerintah dan DPR telah menyepakati revisi UU MK. Hal ini diungkapkan oleh Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Hadi Tjahjanto.