Pakar Hukum Tata Negara sekaligus Peneliti Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Feri Amsari menyebut, politisi menjadi batu sandungan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam menegakkan konstitusi. Hal itu dikatakannya menanggapi revisi terhadap Undang-Undang (UU) Mahkamah Konstitusi (MK) yang secara tiba-tiba diputuskan draf rancangannya dibawa ke paripurna DPR RI. Bukan tanpa alasan, Feri mengatakan hal itu berkaca pada kasus pergantian hakim konstitusi Aswanto oleh DPR RI, yang dinilai melanggar ketentuan dalam Undang-Undang MK. “(Hakim Aswanto) tidak ada kesalahan sehingga diganti, diberhentikan dengan hormat lho itu artinya tidak ada kesalahan. (Pergantian itu) melanggar Undang-Undang (MK) karena mustinya masa jabatannya belum habis,” kata Feri.
Dalam Pasal 23 UU Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK disebutkan bahwa hakim konstitusi diberhentikan dengan hormat dengan alasan meninggal dunia, mengundurkan diri atas permintaan sendiri yang diajukan kepada Ketua Mahkamah Konstitusi, telah berusia 70 tahun, dan sakit jasmani atau rohani terus menerus selama tiga bulan sehingga tidak dapat menjalankan tugasnya yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter.
Feri mempertanyakan dasar dari revisi UU MK yang lagi-lagi menyasar soal masa jabatan hakim konstitusi. Dia lantas menyinggung bahwa manuver politik yang benar tetap harus berada di koridor, yakni konstitusi. Bukan sebaliknya, yakni menabrak konstitusi. Feri berpandangan bahwa apa yang terjadi belakangan ini, termasuk dengan adanya revisi UU MK adalah permainan politik yang menabrak koridor.