Sejumlah pasal dalam Rancangan Undang-Undang tentang Penyiaran mendapat kritik dari pelbagai kalangan. Sebabnya, beberapa pasal dalam draft RUU Penyiaran itu dinilai berpotensi memberangus kebebasan pers. Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Dewan Pers, Yadi Hendriana, mengatakan larangan untuk menyiarkan konten eksklusif jurnalisme investigasi sebagaimana yang dimuat pada Pasal 50 B Ayat (2) RUU Penyiaran tertanggal 27 Maret lalu, tak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Menurut dia, Undang-Undang tentang Pers telah mengatur ihwal kerja dan etika pers, termasuk soal kegiatan jurnalisme investigasi. “Ini tidak ada dasarnya dan justru akan memberangus pers,” kata Yadi saat dihubungi Tempo, Sabtu, 11 Mei 2024. Yadi mengatakan, Undang-Undang Pers telah mengatur ihwal panduan dan kode etik jurnalistik selama lebih dari dua dekade. Sehingga, kegiatan jurnalisme investigasi tidak perlu dikhawatirkan dilaksanakan tanpa aturan. “Pedomannya sudah ada dan tidak ada Undang-Undang lain yang mengatur soal ini, semua soal pers diatur pada Undang-Undang 40 Tahun 1999,” ujarnya.
Sekretaris Jenderal Aliansi Jurnalis Independen atau AJI, Bayu Wardhana, meminta agar DPR menghapus pasal bermasalah dalam RUU tersebut. Dia mengatakan, pelarangan media menayangkan konten atau siaran eksklusif jurnalisme investigasi adalah sebuah pembungkaman terhadap pers. DPR, Bayu melanjutkan, mestinya menjadikan Undang-Undang Pers sebagai rujukan utama dalam penyusunan pasal yang mengatur tentang penyiaran karya jurnalistik. Akan tetapi, pada konsideran draft RUU Penyiaran sama sekali tidak mencantumkan Undang-Undang Pers.