Dewan Pertimbangan Presiden

DEWAN PERTIMBANGAN PRESIDEN

Luhut Ingin Indonesia Larang Ekspor Gas Alam Cair

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Panjaitan ingin Indonesia melarang ekspor gas alam cair alias liquefied natural gas (LNG). Ia menegaskan sudah melakukan kajian internal di kementeriannya, khususnya bersama Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi Kemenko Marves Jodi Mahardi. Hasil studi tersebut bakal segera dilaporkan ke Presiden Joko Widodo (Jokowi). Luhut menyebut pasokan LNG tersebut bisa digunakan untuk kebutuhan domestik. Harapannya, harga gas bisa ditekan ke angka US$6 per Million British Thermal Unit (MMBTU). Selain rencana larangan ekspor gas cair, Luhut sedang menyiapkan sejumlah langkah demi melakukan efisiensi. Ia menyebut ada potensi pengeluaran di beberapa titik yang masih bisa dipangkas. “Kita mau gunakan domestik supaya harga gas itu bisa US$6 per MMBTU. Atau mungkin kalau bisa kemudikan kita tekan lagi cost di mulut, di wheel-nya itu harus kita lihat berapa. Cost effectiveness, efisiensi is a bottom line dan itu yang harus kita bangun di negeri ini,” tegasnya.

Meski begitu, Luhut menyebut kontrak ekspor LNG yang sudah ada akan terus berjalan. Ia menegaskan bakal menghormati kontrak tersebut. “Kalau yang sudah kontrak ekspor gas, kita hormati. Tapi yang baru, nanti kita putuskan kita akan buat (larangan ekspor LNG). Konsumsi kita kan tinggi juga. Kita sudah hitung semua, deputi saya Jodi (Jodi Mahardi), kita sampai pada saran nanti kita jangan ekspor gas lagi, ekspor LNG lagi, kita buat proses dalam negeri karena kebutuhan dalam negeri tinggi,” jelas Luhut.

Selain itu, Luhut menyebut Indonesia bisa beralih ke pengolahan metanol hingga petrokimia jika jadi melarang ekspor LNG. Terlebih, menurutnya saat ini Indonesia masih banyak mengimpor petrokimia.

Ia lantas menyinggung perihal megaproyek Kawasan Industri Hijau Indonesia (KIHI) di Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara (Kaltara). Luhut mengatakan sekarang masih dalam proses konstruksi, di mana diharapkan rampung pada 2025 atau 2026 mendatang untuk pengolahan petrokimia tersebut. “Sekarang petrochemical kita masih impor banyak, sekarang kita mau bikin di Kaltara. Kita perlu gas. Cukup gas kita sendiri dan kita nggak perlu impor lagi,” tandas Luhut.

Search