Wakil Menteri Dalam Negeri, Bima Arya Sugiarto, mengatakan hasil pemantauan di beberapa daerah menunjukkan ada fenomena penurunan tingkat partisipasi pemilih di Pilkada 2024 (2/12/2024). Menurut dia, setidaknya ada delapan faktor yang mengakibatkan rendahnya partisipasi pemilih di Pilkada 2024.
Pertama, masyarakat mengalami kejenuhan politik karena pelaksanaan pilkada hanya berselisih delapan bulan dari pemilu. Kedua, waktu kampanye pilkada yang pendek selama dua bulan mengakibatkan kandidat tidak cukup waktu untuk mengajak pemilih ke tempat pemungutan suara (TPS). Ketiga, ada sebagian calon kepala daerah yang tidak berasal dari daerah yang menjadi arena kontestasi, sehingga kandidat butuh waktu sosialisasi yang lebih lama. Keempat, ada fenomena calon tunggal di 37 daerah sehingga membuat pemilih enggan ke TPS. Kelima, waktu persiapan KPU yang cukup singkat dalam menggelar tahapan pilkada. Keenam, cuaca buruk. Ketujuh, bencana alam di beberapa daerah yang menjadi penghalang masyarakat untuk datang ke TPS. Kedelapan, jumlah TPS lebih sedikit sehingga jarak rumah sebagian pemilih dengan TPS relatif jauh, tidak seperti saat Pemilu 2024 yang lebih dekat.
Pengajar di Departemen Politik dan Pemerintahan UGM, Mada Sukmajati, menilai, rendahnya tingkat partisipasi pemilih di Pilkada 2024 tak bisa dilepaskan dari faktor calon kepala daerah. Kandidat maju dari jalur partai politik maupun perseorangan tidak bisa memenuhi ekspektasi dari masyarakat. Mada melanjutkan, pemilih di Pilkada 2024 menganggap tidak mendapatkan insentif saat menggunakan hak pilih. Dekan FISIP Universitas Sam Ratulangi Ferry Daud Liando mengatakan, partisipasi pemilih yang rendah bukan substansi penting untuk dibahas dalam evaluasi sistem pemilu dan pilkada. Sepanjang rendahnya partisipasi disebabkan daya kritis pemilih yang meningkat, justru merupakan hal yang positif.