Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS Arya Fernandes, menyatakan pilkada oleh DPRD berpotensi memperkuat oligarki politik karena proses penentuan kepala/wakil kepala daerah dilakukan secara tertutup dan ditentukan oleh segelintir elite partai (15/12/2024). Selain itu, politik uang yang selalu menjadi problem dalam pilkada langsung tak lantas sirna ketika mekanisme pemilihan diubah menjadi dipilih oleh DPRD.
Hal lain yang penting untuk diperhatikan, menurut Arya, pemilihan melalui anggota DPRD juga bisa berjalan tidak demokratis. Arya juga mengingatkan, hak masyarakat untuk memilih pemimpin secara langsung adalah bagian dari demokrasi. Namun, mengingat wacana perubahan model pilkada sudah digulirkan, ia menilai perlu ada diskusi mendalam yang melibatkan partai politik, lembaga riset, hingga masyarakat sipil untuk menentukan opsi terbaik. Arya melihat terdapat pergeseran isu yang melatarbelakangi diembuskannya perubahan mekanisme pilkada menjadi dipilih oleh DPRD. Pada masa pemerintahan Yudhoyono, wacana pemilihan oleh DPRD muncul karena beberapa partai politik merasa pemilihan oleh DPRD memberi mereka keleluasaan dalam menentukan calon kepala daerah. Namun, dalam konteks saat ini, isu yang dikemukakan lebih terkait dengan politik uang, efisiensi, dan mahalnya biaya penyelenggaraan pilkada langsung.
Akademisi dan pakar otonomi daerah Djohermansyah Djohan menegaskan pentingnya riset dan kajian mendalam dalam menentukan mekanisme pemilihan kepala daerah, baik melalui pemilihan langsung maupun oleh anggota DPRD. Menurut dia, keputusan tersebut tidak boleh hanya didasarkan pada kesepakatan antara elite partai politik dan pemerintah.